
Oleh: Aqil Huzail Al-Alaf*
Perkembangan media massa di era digital telah menciptakan ruang baru bagi penyebaran informasi sekaligus pembentukan opini publik. Dalam konteks ini, media tidak hanya berperan sebagai penyampai berita, tetapi juga sebagai agen konstruksi makna sosial. Namun, kekuatan tersebut seringkali menjadi pedang bermata dua, terutama ketika media gagal memahami konteks kultural dari objek yang diberitakan. Kasus tayangan Xpose Uncensored yang disiarkan oleh Trans7 pada pertengahan Oktober 2025 menjadi salah satu contoh nyata bagaimana kesalahan dalam framing media dapat menciptakan ketegangan sosial dan luka kultural di masyarakat pesantren.
Latar Kasus dan Reaksi Publik
Program Xpose Uncensored menampilkan Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri serta menampilkan sosok KH. Anwar Manshur, seorang ulama sepuh Nahdlatul Ulama yang sangat dihormati di kalangan santri. Tayangan tersebut menampilkan adegan santri yang bersalaman sambil jongkok atau ngesot, disertai narasi yang menyamakan praktik tersebut dengan feodalisme dan pengkultusan individu. Bahkan terdapat insinuasi bahwa amplop yang diberikan kepada kiai menjadi simbol seseorang yang berorientasi pada keuntungan pribadi dari pemberian santri.
Tayangan ini segera memicu reaksi keras dari publik, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tagar #BoikotTrans7 menjadi viral di media sosial sebagai bentuk protes terhadap narasi yang dinilai melecehkan marwah pesantren dan ulama. Meskipun Trans7 telah mengeluarkan permintaan maaf resmi, banyak pihak menilai bahwa langkah tersebut tidak cukup untuk menghapus luka moral dan sosial yang telah timbul.
Analisis Kritis: Antara Kebebasan Pers dan Tanggung Jawab Kultural
Secara teoritik, kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi. Namun kebebasan tersebut tidak dapat berdiri tanpa diimbangi dengan tanggung jawab etik dan sosial. Dalam teori etika media, setiap jurnalis berkewajiban menghormati nilai kemanusiaan, menjunjung kebenaran faktual, dan menghindari penyiaran yang berpotensi menyinggung kelompok sosial tertentu.
Kesalahan utama Trans7 tidak terletak pada niat menginvestigasi, tetapi pada kegagalan memahami konteks budaya pesantren. Tradisi bersalaman sambil jongkok atau ngesot bukanlah bentuk penindasan, melainkan manifestasi adab dan penghormatan (ta’dzim) terhadap guru. Tindakan tersebut tidak dilakukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran spiritual yang berakar pada nilai barokah dan tabarruk yakni keyakinan bahwa keberkahan ilmu diperoleh melalui kerendahan hati di hadapan guru.
Ketika praktik semacam ini disorot dari sudut pandang modern-sekuler tanpa memahami akar tradisi dan spiritualitasnya, yang muncul adalah distorsi makna dan kekeliruan interpretatif. Dengan demikian, media telah melakukan cultural misrepresentation penyajian yang menyelewengkan makna asli dari sebuah tradisi.
Dimensi Etika: Antara Kelalaian dan Kesengajaan
Dalam kajian etika komunikasi, perbedaan antara kelalaian (negligence) dan kesengajaan (intentionality) menjadi penting. Jika kesalahan terjadi karena kelalaian, maka redaksi Trans7 gagal menjalankan fungsi verifikasi dan uji konteks sosial-budaya. Namun jika dilakukan dengan kesengajaan, misalnya untuk menciptakan sensasi atau meningkatkan rating, tindakan tersebut menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan media.
Program X Uncensored dikenal memiliki gaya penyajian yang provokatif dan satir. Dalam isu keagamaan, gaya tersebut menjadi sangat riskan karena berpotensi menyinggung nilai-nilai spiritual dan martabat tokoh agama. Dengan demikian, baik karena lalai maupun disengaja, tindakan Trans7 telah melanggar prinsip dasar penyiaran sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia, yang menegaskan bahwa media dilarang menampilkan konten yang merendahkan nilai keagamaan dan budaya bangsa.
Prespektif Santri dan Luka Kultural
Relasi antara santri dan kiai bukan sekadar hubungan guru dan murid, melainkan hubungan spiritual yang berlandaskan cinta, penghormatan, dan pengabdian. Seorang kiai berperan sebagai pembimbing moral, penjaga warisan keilmuan, sekaligus simbol kebijaksanaan. Ketika sosok seperti KH. Anwar Manshur—figur karismatik Nahdlatul Ulama—digambarkan secara negatif, maka yang terluka bukan hanya individu, tetapi seluruh komunitas santri yang menjadikan beliau simbol keteladanan.
Luka tersebut bersifat kultural karena menyentuh inti identitas dan kebanggaan pesantren. Permintaan maaf publik tidak serta-merta memulihkan kepercayaan. Dalam konteks sosial, hal ini termasuk symbolic injury yakni cedera simbolik terhadap nilai dan identitas kolektif suatu komunitas.
Refleksi Sosial: Literasi Media dan Kedewasaan Publik
Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia mengenai pentingnya literasi media. Masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk memilah antara fakta dan framing, serta memahami perbedaan antara informasi dan opini. Kecepatan penyebaran berita di era digital tidak selalu identik dengan kebenaran substansial.
Oleh karena itu, kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kebijaksanaan moral. Pintar saja tidak cukup. Kepintaran tanpa adab hanya akan melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa kepintaran masih dapat membawa keberkahan. Pesantren telah membuktikan peran vitalnya sebagai benteng moral bangsa, yang tidak hanya mendidik manusia berpikir cerdas, tetapi juga berperilaku beradab. Ketika media gagal memahami ini, maka media telah kehilangan orientasinya sebagai penjaga nurani publik.
Penutup
Kasus tayangan Trans7 bukan semata-mata persoalan kesalahan jurnalistik, melainkan krisis etika dan kegagalan memahami budaya lokal. Permintaan maaf publik mungkin menenangkan situasi, namun tidak serta-merta menghapus luka batin dan kultural yang dirasakan komunitas pesantren.
Marwah pesantren tidak dapat dipulihkan hanya dengan tayangan klarifikasi, karena kehormatan adalah hasil dari proses panjang yang dijaga oleh ilmu, adab, dan doa. Dari peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab media bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menjaga keutuhan nilai dan kebijaksanaan sosial yang hidup dalam masyarakat. Pada akhirnya, bangsa ini tidak cukup hanya membutuhkan orang pintar, tetapi juga orang yang beradab yang memahami sebelum menilai, dan menghormati sebelum berbicara.
*Ketua PMII Rayon Syari’ah “Hasyim Asy’ari” Tebuireng