
Profil KH. Hasyim Asy’ari
Kiai Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang menonjol dalam syiar Islam dan perjuangan melawan kolonialisme pada abad ke-20. Pemikirannya hingga kini masih dijadikan rujukan oleh kaum pesantren dan intelektual nasionalis.
Beliau menyandang gelar Hadratussyaikh, yang diberikan kepada ulama dengan keilmuan mendalam. Gelar ini tidak banyak dimiliki oleh ulama Indonesia lainnya karena kualifikasi akademik yang harus dicapai. Untuk meraih gelar ini, seseorang harus menghafal enam kitab hadis paling otoritatif (al-Kutub al-sittah).
Pengaruh Kiai Hasyim sangat dominan di Nusantara, khususnya di pulau Jawa, terutama setelah wafatnya guru beliau, Syaikhona Kholil dari Bangkalan. Kiai Hasyim menjadi kiblat utama keilmuan para alim ulama pada saat itu. Saat pemerintahan kolonial Jepang melakukan sensus ulama pada tahun 1942, tercatat sekitar 20.000 kiai di Jawa yang pernah berguru kepada Kiai Hasyim di pesantren Tebuireng.
Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H (14 Februari 1971 M) di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, Jombang. Beliau adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah, putri Kiai Usman, pengasuh pesantren Gedang.
Sejak kecil, Kiai Hasyim menimba ilmu di bawah pengawasan kakek dan ayahanda. Di usia tiga belas tahun, beliau sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan mulai membantu ayahnya mengajar para santri.
Rihlah Ilmiah Kiai Hasyim
Perjalanan ilmiah Kiai Hasyim dimulai pada usia 15 tahun. Beliau mengembara ke beberapa pesantren, mulai dari Pesantren Wonokoyo Jombang, Pesantren Wonorejo Probolinggo, hingga Pesantren Langitan Tuban. Beliau juga sempat mondok di pesantren asuhan Mbah Soleh Darat Semarang dan belajar di Pesantren Trenggilis Surabaya. Untuk memperdalam ilmu, Kiai Hasyim melanjutkan belajar di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif.
Setelah kembali dari Bangkalan, beliau menikah dengan putri Kiai Ya’qub, pengasuh Pondok Siwalan Panji, bernama Khadijah. Setelah menunaikan haji ke Makkah, Kiai Hasyim menghadapi cobaan berat, kehilangan istri dan putra pertama.
Setelah kembali ke Indonesia, kerinduan akan Makkah mendorong Kiai Hasyim untuk berangkat kembali ke Makkah pada tahun 1893, di mana beliau belajar dari banyak guru, termasuk Syekh Syuaib bin Abdurahman dan Syekh Mahfud Atturmusi. Pada tahun 1899, beliau menikah lagi dengan putri Kiai Romli dari Karangates Kediri, bernama Nafisah. Kembali ke Indonesia, Kiai Hasyim mendirikan pesantren di Desa Cukir dekat pabrik gula.
Kiai Aktivis
Pemilihan Tebuireng sebagai lokasi pesantren bukan tanpa alasan. Keberadaan pabrik gula Cukir menjadikan tempat tersebut sarang kemaksiatan, dan Kiai Hasyim merasa terpanggil untuk memperbaiki keadaan tersebut. Masyarakat sekitar hidup dalam kemiskinan, dengan banyak yang disewa paksa oleh pihak pabrik.
Kiai Hasyim mengambil langkah untuk meningkatkan kemampuan bercocok tanam masyarakat dengan melakukan pendampingan pertanian. Ia bahkan meliburkan pengajian di hari Selasa untuk terjun langsung ke sawah. Upaya ini berhasil meningkatkan ekonomi masyarakat Tebuireng, sehingga Kiai Hasyim semakin dikenal dan berpengaruh.
Setelah memperbaiki aspek ekonomi, Kiai Hasyim mulai membenahi masalah ibadah dan keagamaan di masyarakat dengan mendirikan masjid dan mengadakan pengajian-pengajian.
Karya Kiai Hasyim sebagai Pemersatu Umat
Karya-karya Kiai Hasyim merupakan respons terhadap berbagai problematika masyarakat. Beliau menyusun kitab-kitab seperti Alqolaid fi Bayan Ma Yajib Min Al-Aqoid dan Al-Risalah Al-Tauhidiyah untuk membantu masyarakat memahami akidah dan tauhid.
NU dan Komite Hijaz
Penjajahan yang berkepanjangan menggugah para pelajar Indonesia untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui pendidikan dan organisasi. Muncul beberapa gerakan seperti Nahdah Al-Wathan (1916) dan Taswirul Afkar (1918), di mana Kiai Wahab Hasbullah, murid Kiai Hasyim, menjadi tokoh utama.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan mazhab Wahabi sebagai mazhab resmi negara dan menghancurkan peninggalan sejarah Islam. Rencana ini ditolak oleh kalangan pesantren, dan Kiai Hasyim membentuk Komite Hijaz untuk menggagalkan rencana tersebut.
Pada tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan organisasi yang lebih besar. Kiai Hasyim melakukan sholat Istikharah, dan mendapatkan petunjuk dari Kiai Kholil berupa tongkat dan tasbih.
Spirit Nasionalisme
Pada tahun 1897, Kiai Hasyim dan beberapa ulama di Makkah berikrar untuk berjuang demi kemerdekaan negara masing-masing. Gerakan nasionalisme telah dilakukan oleh para ulama diaspora, termasuk Syekh Nawawi Al-Bantani.
Sebagai penutup penulis menegaskan bahwa
Kiai Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama yang tidak hanya berkontribusi dalam bidang keagamaan, tetapi juga aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kemerdekaan bangsa.
Penulis : Badar Alam Kalasuba
Editor: Khozinol Fatah
*Tulisan ini didiskusikan pada kegiatan “Tadarus Pergerakan bersama Komisariat” yang dilaksanakan pada Senin, 10 Maret 2025 bertempat di sekretariat PMII Komisariat Hasyim Asy’ar Tebuireng.