Jombang, Program pembangunan ambisius bertajuk Asta Cita Warsa, yang diklaim sebagai peta jalan kesejahteraan masyarakat Jombang untuk lima tahun ke depan, justru menuai kritik keras dari elemen masyarakat sipil. Salah satu yang paling vokal adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jombang, yang melalui kajian kritisnya, menyuarakan keresahan masyarakat atas ketimpangan antara rencana dan realisasi pembangunan.
20/5/25 Hasil kajian dari tajuk “Paradoks Asta Cita: Rencana Strategis dan Realitas Pembangunan Kabupaten Jombang”, PMII membeberkan berbagai persoalan akut di balik delapan program prioritas yang diusung oleh Bupati H. Warsubi dan Wakil Bupati Salmanudin Yazid. Di antaranya adalah kerusakan infrastruktur jalan yang mencapai 288 kilometer, angka pengangguran yang menembus 35.000 jiwa, serta lemahnya transparansi dan kesiapan birokrasi daerah dalam menjalankan visi besar tersebut.
Menurut Denmas Amirul Haq, Wakil Sekretaris Bidang Kaderisasi PC PMII Jombang, program Asta Cita justru menghadirkan paradoks kebijakan yang menganga lebar antara cita-cita dan kenyataan.“Visi Jombang Maju dan Sejahtera untuk Semua akan tetap menjadi ilusi jika pembangunan tidak menyentuh kebutuhan konkret rakyat. Asta Cita jangan hanya jadi dokumen seremonial elite birokrasi. Masyarakat menuntut aksi nyata, bukan narasi indah di media,” tegas Denmas.
PMII Jombang: Pembangunan Jalan Bukan Sekadar Aspal, Tapi Soal KehidupanDalam kajian tersebut, PMII menekankan bahwa kerusakan jalan di banyak wilayah pedesaan telah menjadi penghambat utama mobilitas warga. Tak hanya melumpuhkan distribusi hasil pertanian dan produk UMKM, kondisi ini juga mengganggu akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, terutama di pelosok.
“Bagaimana kita bisa bicara kesejahteraan kalau ibu hamil sulit ke puskesmas dan anak-anak harus berjalan di jalan rusak untuk sekolah?”Ia menyerukan agar Pemkab Jombang menjadikan pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan sebagai prioritas anggaran utama, dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan demi mencegah penyimpangan.
Kemiskinan dan Pengangguran Tinggi: PMII Usulkan Political Surance untuk Kaum MudaPMII juga menyoroti fakta bahwa 110.570 jiwa di Jombang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ironisnya, lulusan SMK yang seharusnya siap kerja justru menjadi kelompok pengangguran tertinggi kedua setelah lulusan SD.
Menjawab kondisi ini, PMII Jombang merekomendasikan sebuah inovasi kebijakan berbasis perlindungan sosial-politik bernama Political Surance, berupa pelatihan bersertifikat dan program magang strategis lintas sektor bagi pemuda Jombang.“Pemuda kita bukan tidak mau kerja, tapi akses pelatihan dan jaringan mereka dibatasi. Pemerintah harus hadir di situ. Jangan biarkan generasi emas Jombang hanya jadi angka statistik pengangguran,” papar Denmas.
Sorotan Keterbukaan Data: Di Mana Transparansi Pemerintah?PMII juga menyoroti minimnya keterbukaan informasi publik. Tidak adanya laporan evaluasi resmi terhadap capaian program Asta Cita menjadi bukti lemahnya transparansi dalam tata kelola pemerintahan.“Kami tidak bisa menilai efektif-tidaknya Asta Cita kalau tidak ada data. Ketertutupan ini bukan hanya memperlemah kontrol sosial, tapi juga membuka peluang penyimpangan,” ujar Denmas.
PMII mendesak Pemkab Jombang untuk membangun portal keterbukaan data yang dapat diakses publik secara real-time dan menyeluruh.
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak: PMII Dorong Ruang Aman sebagai Solusi Nyata. Data tahun 2024 mencatat 112 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual dan perdagangan manusia. PMII melihat ini sebagai kegagalan sistemik dalam melindungi kelompok rentan.
Melalui inisiatif “Ruang Aman Perempuan”, PMII mendorong pendirian posko pengaduan, program edukasi publik, dan sinergi antar pemangku kepentingan untuk menciptakan ruang hidup yang bebas dari kekerasan.
Di akhir pernyataannya, Denmas menegaskan bahwa pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang berpihak kepada rakyat kecil, bukan yang sekadar mengutamakan pencitraan birokrasi.“PMII hadir bukan untuk mencaci, tapi untuk mengawal. Kami akan terus bersuara selama pembangunan belum berpijak pada kebutuhan riil masyarakat. Kami ingin Jombang bangkit bukan karena dokumen, tapi karena tindakan nyata,” pungkasnya.