PEREMPUAN NIKAH MUDA PRESTASI ATAU DEKADENSI?
Oleh: Naufal Afif

Fenomena pernikahan dini (muda) di kalangan remaja telah menjadi perhatian banyak orang. Beberapa orang memandang pernikahan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa keputusan menikah seringkali tidak mempertimbangkan kesiapan jangka panjang, terutama bagi perempuan. Pernikahan dapat terjadi tanpa mempertimbangkan usia, asalkan kedua belah pihak merasa siap (Utamidan Hidir, 2022).[1]
Di sebagian masyarakat, masih terdapat adat yang menikahkan anak di usia yang bisa dibilang masih sangat muda. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak sudah dijodohkan sejak masih dalam kandungan. Dari permasalahan yang terjadi, hal ini banyak menimbulkan pertanyaan penting: seperti: “kapan pernikahan usia muda dianggap sebagai prestasi, dan kapan dianggap sebagai bentuk dekadensi?”
Definisi usia muda bervariasi menurut beberapa lembaga. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan remaja sebagai individu berusia 10-19 tahun. Sementara itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 25 Tahun 2014 menetapkan rentang usia muda antara 10-18 tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mendefinisikan kelompok usia muda sebagai individu berusia 10-24 tahun yang belum menikah. Perbedaan definisi ini menunjukkan kompleksitas dalam menentukan batasan usia muda.
Di Indonesia, regulasi mengenai usia pernikahan telah mengalami perubahan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, batas usia pernikahan ditetapkan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, batas usia minimum untuk menikah bagi kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan, adalah 19 tahun. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pasangan yang akan menikah telah mencapai kematangan fisik, mental, dan psikologis, sehingga dapat menjalani pernikahan yang seimbang dan mengurangi risiko perceraian di masa depan..
Perspektif Hukum Islam tentang Pernikahan
Dalam perspektif Islam, kedewasaan seseorang ditentukan oleh tanda-tanda baligh (dewasa biologis) dan aqil (kedewasaan mental). Mereka yang belum mencapai kedewasaan ini disebut sebagai sabi (anak kecil), sedangkan yang telah dewasa disebut sebagai aqil baligh. Konsep ini berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari hadits Rasulullah SAW:
“Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada kami,“Wahai para pemuda, siapa yang sudah mampu menafkahi biaya rumah tangga, hendaknya dia menikah. Karena hal itu lebih menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat meringankan syahwatnya”.” (Muttafaq Alaihi).
Berdasarkan interpretasi hadits, Rasulullah SAW mendefinisikan “pemuda” sebagai individu yang telah mencapai usia aqil baligh dan berusia di bawah 30 tahun. Dalam perspektif Islam, pernikahan usia muda dapat diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah ambang batas yang umumnya dianggap sebagai usia dewasa, yaitu sekitar 12-15 tahun untuk perempuan dan 14-17 tahun untuk laki-laki. Di atas usia tersebut, Islam menganjurkan pernikahan karena individu dianggap telah mencapai kematangan fisik dan mental (aqil baligh) (M. Adhim, Fauzil, 2002) .[2]
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri, mendefinisikan pernikahan usia muda sebagai pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat, namun salah satu pasangan belum mencapai kematangan biologis (baligh) dan belum memiliki kesiapan mental yang memadai untuk menjalankan peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga (Farhandkk, 2022).[3]
Secara hukum asal, pernikahan adalah mubah (boleh), namun bisa berubah tergantung kondisi, seperti:
- Wajib, jika seseorang memiliki syahwat yang tinggi dan takut terjerumus ke dalam maksiat, serta memiliki kemampuan finansial dan tanggung jawab.
- Sunnah, jika seseorang ingin menikah dan memiliki kemampuan lahir dan batin.
- Makruh, jika tidak ada keinginan kuat, namun ia mampu.
- Haram, jika tidak memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan pernikahan.
Dampak Pernikahan Usia Muda
Fenomena pernikahan dini dapat dianalisis dari perspektif positif dan negatif, dengan beberapa poin penting yang dapat disimpulkan. Pertama, pernikahan dini telah menjadi topik yang populer di kalangan masyarakat, terutama di kalangan remaja, dan sering dibahas dalam media sosial dan kajian keagamaan. Kedua, faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini meliputi kondisi ekonomi, latar belakang keluarga, tradisi, keinginan pribadi, dan tingkat pendidikan, yang dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi pasangan suami istri dan keluarga besar mereka. Ketiga, analisis sosialogis, psikologis, biologis, dan aspek lainnya menunjukkan bahwa pernikahan dini rentan menimbulkan efek negatif pada stabilitas rumah tangga (Wifa Lutfiani Tsani, 2021).[4]
Selain itu juga, fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan tertutupnya akses pendidikan, khususnya bagi perempuan. Di banyak daerah pelosok, pendidikan anak perempuan sering kali hanya sampai tingkat SMP, lalu dinikahkan. Padahal, banyak pernikahan yang dilakukan di usia muda tersebut tidak bertahan lama.
Kurangnya edukasi tentang hukum pernikahan menyebabkan banyak kesalahan, seperti ayah yang menikahkan anaknya padahal ia bukan wali sah menurut syariat. Hal ini bahkan bisa menjadi bentuk kemaksiatan jika tidak sesuai dengan hukum Islam. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui hal ini karena minimnya pemahaman agama.
Kemudian pada Pendidikan, termasuk kurikulum di pesantren, memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemahaman ini. Sayangnya, terkadang bukan kita yang membatasi ilmu, tapi lingkungan dan sistem yang membuat akses terhadap pendidikan terbatas.
Prestasi atau Dekadensi
Pernikahan muda pada perempuan, dalam banyak hal, cenderung lebih mendekati “dekadensi” ketimbang “prestasi”.
Analisis menunjukkan bahwa pernikahan dini seringkali berkorelasi dengan dampak negatif pada pendidikan, kesehatan reproduksi, dan kesejahteraan wanita. Risiko yang dihadapi termasuk gangguan kesehatan reproduksi, tingkat pendidikan yang lebih rendah karena putus sekolah, serta peningkatan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pernikahan dini dapat menghambat pencapaian potensi dan kualitas hidup perempuan.
Penilaian terhadap pernikahan muda bisa dilihat dari berbagai sudut pandang: fiqih, budaya, sosial, dan lingkungan.
Dalam Islam, pernikahan tidak dilarang selama seseorang sudah ‘baligh’, yang umumnya diukur mulai usia 15 tahun.
Sedangkan dalam pandangan negara, pernikahan muda dibatasi oleh aturan KUA. Pernikahan dini itu akan menjadi masalah jika dipandang dari sisi hukum negara dan realitas sosial dalam masyarakat indonesia. Wallahu a’lam.
Jombang, 02 Juni 2025
(Catatan diskusi mingguan Rayon PMII Yusuf Hasyim)
Notulis: Shalsabila (kader Rayon PMII Yusuf Hasyim “Tebuireng”)
[1] Utami, S., & Hidir, A. (2022). Pilihan Rasional Petani Kelapa Di Desa Pengalihan Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir. Jurnal Pendidikan Sosiologi Undiksha, 4(3), 63-68.
[2] M. Adhim, Fauzil, “Indahnya Pernkahan Dini”, Jakarta : Gema Insari Press, 2002, hlm 43.
[3] Farhan, M., Nurbayan, S. T., & Nurhasanah, N. (2022). Fenomena Prostitusi Online Dengan Menggunakan Aplikasi Michat Di Desa Nisa Kecamatan Woha Kabupaten Bima. Edu Sociata: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 5(2), 20-30.
[4] Wifa Lutfiani Tsani (2021). Trend Ajakan Nikah Muda Ditinjau dalam Aspek Positif dan Negatif. El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/usrah/index Vol.4 No.2 Juli-Desember 2021 ISSN: 2549 – 3132 ║ E-ISSN: 2620-8083