“Tresna dhumateng jagad menika sami kaliyan tresna dhumateng dhiri pribadhi. (Mencintai alam semesta itu sama seperti mencintai diri sendiri)”.
Sebuah pepatah Jawa, yang seakan menjadi peringatan kepada kita terkait betapa pentingnya merawat/mencintai alam semesta. Perlu diketahui bersama, bahwasannya tujuan manusia diciptakan bukan hanya sebatas menjadi ‘’abdun’ (hamba) yang taat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi juga manusia ditugaskan sebagai ‘Khalifah’ (pemimpin/pengganti) di jagat pramudita.
Krisis ekologi terjadi karena pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup telah kehilangan nilai-nilai dasarnya, yang didominasi oleh nafsu, keserakahan, dan egoisme. Manusia, dalam kapasitasnya sebagai khalifah sekaligus hamba Allah, memikul tanggung jawab moral dan spiritual sebagai penerima amanah yang harus dijalankan secara konsisten.
Peran manusia dalam mengelola dan memakmurkan bumi merupakan manifestasi dari ibadah kepada Allah, sehingga tidak dapat dipisahkan dari dimensi teologis. Fungsi kekhalifahan mencerminkan prinsip sunnatullah yang terintegrasi dalam tiga relasi utama: hubungan manusia dengan Tuhan, relasi antarmanusia, serta interaksi manusia dengan lingkungan alam.
Oleh karena itu, pelaksanaan tugas kekhalifahan menuntut komitmen dan integritas yang tinggi sebagai wujud dari tanggung jawab ilahiah, sosial, dan ekologis yang telah diamanahkan kepada manusia (Subarudin, 2017). Yusuf al-Qaradawi, seorang cendekiawan Islam terkemuka, membahas tentang pentingnya menjaga lingkungan dalam karya tulisnya yang berjudul ‘Ri’ayat al-Bi’ah fi Shariat al-Islam’ atau ‘Islam Agama Ramah Lingkungan’ dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Dalam karya ini, beliau menekankan pentingnya peran Islam dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mempromosikan perilaku yang ramah lingkungan. Dalam Islam, upaya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup memiliki kedudukan yang setara dengan perlindungan terhadap maqāṣid al-sharī’ah, yaitu tujuan-tujuan utama syariat. Tujuan tersebut mencakup penjagaan agama (ḥifẓ al-dīn), perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), pelestarian akal (ḥifẓ al-‘aql), menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan menjaga harta benda (ḥifẓ al-māl). Kelima aspek ini dikenal dengan istilah al-ḍarūriyāt al-khamsa, yaitu lima kebutuhan dasar yang menjadi fondasi utama bagi keberlangsungan hidup manusia.
Kelimanya dijadikan sebagai acuan dalam memenuhi kebutuhan pokok manusia, karena masing-masing memiliki nilai kemaslahatan yang esensial dan tidak bisa ditinggalkan dalam menjalani kehidupan. Yusuf al-Qaradawi mengembangkan konsep Islam sebagai agama ramah lingkungan berdasarkan prinsip al-ihsān, yang memiliki dua makna penting: Pertama, melindungi dan menjaga dengan sempurna dalam konteks ibadah kepada Allah, berdasarkan hadis Jibril.
Kedua, menyayangi, memperhatikan, merawat, dan menghormati dalam konteks interaksi dengan makhluk lain dan lingkungan. Dengan memahami makna al-ihsān dalam kedua makna ini, Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya memperlakukan lingkungan dengan penuh perhatian dan kasih sayang sebagai bagian dari ajaran Islam.
Di dunia pesantren beredar sebuah konsep yang bernama Eco-Pesantren. Konsep Eco-Pesantren merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu “Eco” yang berarti ekologi atau lingkungan hidup, dan “Pesantren” yang merupakan institusi pendidikan Islam khas Indonesia. Eco-Pesantren dapat diartikan sebagai institusi pendidikan Islam yang peduli terhadap lingkungan hidup dan melakukan upaya pelestarian dan perlindungan sumber daya alam serta lingkungan hidup.
Program Eco-Pesantren diperkenalkan pertama kali pada pertemuan “Muslim Seven Year Action Plan for Climate Change” di Istanbul, Turki pada Juni 2009. Program ini mendapat perhatian luas dari organisasi Muslim di dunia karena dianggap efektif untuk mendidik masyarakat dalam upaya pelestarian dan perlindungan sumber daya alam. Pada Konferensi Muslim Associate for Climate Change Action (MACCA) di Bogor pada Maret 2010, program ini semakin dikembangkan sebagai pilot project pendidikan lingkungan bagi umat Muslim, dengan partisipasi dari 14 negara Muslim.
Eco-pesantren diakui sebagai model pendidikan lingkungan berbasis agama yang efektif dan direkomendasikan oleh konferensi internasional untuk diterapkan secara global. Pesantren di Indonesia dianggap memiliki pemahaman yang maju dalam mengelola lingkungan, seperti mengolah sampah menjadi kompos dan barang bernilai ekonomi, yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesadaran lingkungan (Fatimahtuzuhro, 2015).
Pengembangan program eco-pesantren di Indonesia memiliki nilai strategis karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yaitu sekitar 200 juta jiwa. Dengan demikian, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam menggerakkan komunitas Islam global untuk mengatasi masalah lingkungan hidup dan kerusakan alam (Muhtaram, 2014). Pesantren Tebuireng misalnya, tersedia bank sampah yang berfungsi untuk mengelola permasalahan sampah di pondok.
Bank Sampah Tebuireng (BST) didirikan pada 15 Oktober 2015 di Pesantren Tebuireng, dengan fokus utama menangani masalah sampah. Lembaga ini berkembang pesat dan pada tahun 2018 menerima bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mendukung operasionalnya.
Berdasarkan ringkasan pengelolaan sampah di Bank Sampah Tebuireng (BST) pada April 2025 hasil input dari berbagai unit lembaga yang ada di pesantren Tebuireng, menyebutkan jumlah timbunan sampah di Tebuireng mencapai angka 24,8 ton/Bulan. Dari total produksi sampah Tebuireng tersebut 3,7 ton/Bulan dapat terkelola, sedangkan sisanya 21,1 ton/Bulan sampah tidak terkelola.
Segala daya dan upaya dilakukan untuk meminimalisir sampah yang ada di pesantren Tebuireng. Sesuai dengan slogan BST, “Sampah menjadi berkah, dengan pengelolaan sampah yang benar, lingkungan menjadi indah, dan sampah bukan lagi menjadi masalah, melainkan menjadi berkah dan anugerah, serta bisa mendatangkan rupiah.”
Seyogyanya hal yang semacam ini dapat ditiru oleh pesantren-pesantren di Indonesia, yang memiliki kuantitas yang tidak sedikit. Karena secara garis besar, keseimbangan antara manusia dan alam adalah kunci untuk mencapai keseimbangan hidup.
(Catatan diskusi mingguan Rayon PMII Yusuf Hasyim)
Penulis: Naufal Afif (Ketua Rayon PMII Yusuf Hasyim “Tebuireng”)