Perjuangan kesetaraan gender sangat berkaitan erat dengan gerakan feminisme. Gerakan feminisme awal berfokus pada menentang pandangan patriarkis yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah, emosional, dan tidak rasional, sehingga posisinya dianggap subordinat (Cathia dan Groves, 2007). Gender sendiri menurut Oakley (2001), adalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial dan budaya, sehingga dapat berubah seiring waktu dan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Berbeda dengan seks, yang merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan (Mansour, 2001).
Dalam kehidupan pesantren santri memiliki dua pengertian, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, santri merujuk pada siswa atau individu yang menempuh pendidikan di lembaga keagamaan Islam yang dikenal sebagai pesantren. Sementara itu, dalam arti yang lebih luas, santri mencakup anggota masyarakat yang menjalankan ajaran Islam dengan sungguh-sungguh, seperti melaksanakan salat, menghadiri salat Jumat di masjid, dan kegiatan keagamaan lainnya (Clifford, 1989).
Di pesantren, santri tidak hanya mempelajari hal yang berkaitan dengan Agama sahaja, tapi juga Igama (dalam naskah Lontar Sundarigama, berarti memuat panduan spiritual untuk mencapai hubungan harmonis dengan Sang Pencipta), serta menghayati penuh Ugama (dalam ajaran Hindu, memiliki arti hubungan harmonis dengan sesama manusia diatur oleh norma-norma dan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama).
Islam hadir di dunia dengan tujuan untuk mengatasi ketimpangan dan memperjuangkan kesetaraan gender, termasuk di lingkungan pesantren. Namun dalam kenyataannya, masih terdapat bias patriarkal di pesantren, yang disebabkan oleh ketidakmampuan para pemegang otoritas dalam membedakan antara nilai-nilai tradisi dan ajaran agama. Seringkali, tradisi dianggap sebagai bagian dari ajaran agama. Padahal, ajaran Islam berasal dari konteks budaya Arab, yang kemudian menciptakan jarak antara ajaran asli dan praktik keagamaan di masyarakat lokal. Ketika ajaran agama diterapkan dalam struktur sosial yang berbeda tradisi dan budayanya, maka maknanya bisa menjadi tidak lagi relevan dengan konteks sosial saat agama tersebut pertama kali diturunkan (Abdurrahman Wahid, 2019).
Di sisi lain, pesantren masih mempertahankan budaya tradisionalnya, yang mencerminkan pembatasan terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meskipun tetap berada dalam koridor norma agama dan budaya patriarkal yang berlaku secara umum. Ketimpangan gender dalam proses pembelajaran di pesantren tampak jelas, salah satunya melalui perbedaan materi ajar. Santri laki-laki memperoleh akses lebih mudah terhadap bahan ajar seperti buku dan kitab, serta memiliki kebebasan untuk keluar pondok. Sebaliknya, santriwati dihadapkan pada aturan yang lebih ketat, bahkan dilarang keluar lingkungan pondok, sehingga mereka sulit mengikuti kegiatan eksternal seperti perlombaan antar pesantren, yang mayoritas pesertanya adalah santri laki-laki. Santri laki-laki juga dibentuk untuk menjadi pribadi yang aktif dan percaya diri, yang tercermin dalam sistem pembelajaran dua arah (diskusi) serta keterlibatan dalam berbagai kegiatan seperti khutbah, pidato, adzan, menjadi pembawa acara, hingga Qiro’ah secara bergiliran (Mursidah, 2020).
Menurut teori Michel Foucault, terdapat hubungan erat antara kekuasaan dan pengetahuan dalam proses sosialisasi gender di lembaga agama. Proses ini melibatkan beberapa aspek, yaitu: (1). Pendisiplinan tindakan dan perilaku sesuai sistem nilai tertentu. (2). Pengakuan dan penerimaan atas otoritas dan nilai-nilai dominan. (3). Kontrol budaya yang mengatur norma dan perilaku. (4). Pelembagaan norma melalui simbolisasi figur dan model kepercayaan. Sosialisasi gender dapat dipandang sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat dan komunitas (Marhumah, 2011).
Yusuf al-Qardhawi, salah seorang tokoh pemikir dan pemimpin berpengaruh dalam dunia Islam kontemporer, dengan pemikiran dan karya-karyanya yang memiliki dampak luas di berbagai wilayah, termasuk Timur Tengah, Barat, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia. Salah satu kontribusi pemikiran Yusuf al-Qaradawi yang signifikan dan menggugah wacana keislaman kontemporer adalah pandangannya mengenai perempuan, yang dikenal bersifat progresif dan moderat. Pemikirannya dalam isu-isu gender menunjukkan keberanian intelektual yang berbeda dari pandangan dominan kalangan tradisionalis-konservatif. Dalam karya Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, al-Qaradawi mengulas isu kompleks terkait perempuan karier. Tidak seperti sebagian besar ulama yang cenderung melarang perempuan berperan di ranah publik, al-Qaradawi justru memperbolehkannya, meskipun tetap dalam koridor prinsip-prinsip syariah.
Pembolehan tersebut disertai dengan tiga syarat utama. Pertama, pekerjaan yang dijalani harus sesuai dengan ajaran Islam, yaitu tidak melibatkan hal-hal yang dilarang atau berpotensi menjerumuskan pada perbuatan maksiat, seperti menjadi sekretaris pribadi laki-laki asing dalam situasi yang memungkinkan terjadinya khalwat. Kedua, perempuan harus menjaga etika keagamaan dalam berbagai aspek, seperti berpakaian, berbicara, bersikap, serta mengendalikan pandangan. Ketiga, aktivitas karier tersebut tidak boleh mengabaikan kewajiban utama dalam keluarga, khususnya peran sebagai istri dan ibu.
Dalam karya lainnya, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah, al-Qaradawi menegaskan kembali bahwa perempuan dapat menjalankan profesi strategis seperti direktur, dekan fakultas, anggota parlemen, menteri, dan sebagainya, selama terdapat kemaslahatan di dalamnya. Lebih lanjut, dalam Fatawa Mu’ashirah, ia menolak argumen yang melarang perempuan untuk berkarier di ruang publik, karena menurutnya, tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar serta kegiatan ijtihad terbuka bagi laki-laki maupun perempuan. Ia menilai bahwa dalil-dalil yang digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan bersifat dzanni (tidak pasti), dan secara historis terbantahkan oleh peran aktif Aisyah—istri Nabi Muhammad SAW—yang dikenal sebagai ulama perempuan, mujtahid, dan aktivis sosial-politik yang turut serta dalam peristiwa penting seperti Perang Jamal. Secara keseluruhan, pemikiran al-Qaradawi dalam isu perempuan mencerminkan pendekatan yang khas, inspiratif, dan berorientasi pada moderasi serta relevansi sosial. Wallahu a’lam.
Penulis; M. Naufal Afif