Pada setiap zaman selalu ada yang menolak perpaduan apapun, dengan alasan hilangnya “kemurnian” suatu ajaran yang menjadi tulang punggung masyarakat. Analoginya saat ini adalah muncul “pesantren modern” dalam perkembangan pendidikan pesantren.
Secara historis, Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan lahir dari akar sejarah Indonesia.

Menurut Nurcholis Madjid, pondok pesantren memiliki akar sejarah yang dalam di Nusantara, bahkan sebelum Islam masuk. Lembaga pendidikan pra-Islam seperti padepokan dan biara diadaptasi dan di-Islamisasi menjadi pondok pesantren. Pondok pesantren tidak hanya berperan dalam penyebaran Islam, tetapi juga berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pembentukan identitas bangsa. Mereka menjadi pusat pendidikan, sosial, dan keagamaan yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Salah satu trimurti pendiri pondok pesantren Darussalam Gontor, KH Imam Zarkasyi berpendapat, pesantren dapat didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang berbasis asrama atau pondok, dengan kyai sebagai figur sentral yang memimpin dan membimbing. Masjid menjadi pusat kegiatan yang mendasari operasional pesantren, sementara pengajaran ajaran Islam di bawah bimbingan kyai menjadi fokus utama kegiatan santri. Dalam konteks ini, pesantren berperan penting dalam mengembangkan pendidikan keislaman yang holistik dan berbasis spiritualitas (Wirosukarto, 1996: 56)[1].
Dapat disimpulkan bahwa pesantren memiliki empat elemen fundamental, yaitu: kyai sebagai figur pemimpin dan pembimbing, masjid sebagai pusat kegiatan spiritual dan keagamaan, ajaran Islam sebagai materi utama pembelajaran, dan santri sebagai subjek pendidikan. Selain itu, pesantren dapat dipahami sebagai sebuah ekosistem pendidikan yang kompleks, di mana para santri belajar dan berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan, baik spiritual, sosial, maupun intelektual, dalam sebuah lingkungan yang kondusif untuk pengembangan diri dan pembentukan karakter.
Dalam dinamika perkembangan zaman, pesantren telah mengalami proses modernisasi yang signifikan. Dari awalnya sebagai tempat tinggal sederhana bagi santri yang ingin menimba ilmu agama dari seorang kyai, pesantren kini telah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang menyelenggarakan kurikulum agama dan umum secara terintegrasi. Pesantren telah memainkan peran sentral dalam menggerakkan perubahan sosial melalui aktivitas dakwah Islam, baik dalam pembentukan karakter individu maupun dalam dinamika politik. Pengaruh pesantren terhadap perubahan sosial dan politik ini telah berlangsung lama, bahkan sejak masa kolonial Belanda, dan terus berlanjut hingga saat ini, baik melalui peran pengasuh pondok maupun dalam interaksinya dengan pemerintah.
Sistem pendidikan pesantren memiliki karakteristik yang mandiri dan tradisional, seperti yang tercermin dalam metode pengajaran sorogan, di mana seorang kyai mengajar santri secara individual dan bergiliran. Sistem ini juga melibatkan pengajian weton yang berfokus pada teks-teks utama dan dapat diwariskan kepada pengganti kyai. Namun, sistem pendidikan pesantren yang masih sangat tradisional ini memerlukan pembaharuan untuk meningkatkan kualitas dan relevansinya. Implikasi dari pembaharuan (tajdid) di pesantren terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam dapat dilihat dari beberapa aspek, termasuk landasan filosofis, manajemen kelembagaan, pengembangan kurikulum, serta pengaruh pesantren terhadap pemahaman keagamaan masyarakat sekitar. Pembaharuan ini penting untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas pendidikan pesantren dalam menghadapi tantangan zaman.
Terdapat dua corak utama: pesantren modern dan pesantren salaf. Pesantren modern mengintegrasikan prinsip-prinsip pendidikan modern dalam sistem pengajaran dan pengelolaannya, sementara pesantren salaf mempertahankan tradisi klasik dengan fokus pada pendalaman ilmu agama (tafaqquh fii addin). Kedua corak ini mencerminkan pendekatan yang berbeda dalam pendidikan Islam di pesantren.
Pesantren salaf menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan sumber daya manusia, keuangan, sarana, dan prasarana, serta akses komunikasi yang terbatas. Selain itu, kultur kyai-sentris dan tradisi kuat pesantren salaf yang fokus pada transmisi keilmuan klasik dapat menjadi hambatan. Kurikulum yang kurang relevan dengan perkembangan zaman dan manajemen kelembagaan yang perlu ditingkatkan juga menjadi masalah. Di sisi lain, pesantren salaf harus bersaing dengan pesantren modern dan sekolah umum, menghadapi stigma sebagai tempat pengkaderan radikal, dan menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah.
Pondok pesantren modern menghadapi masalah seperti orientasi yang terlalu fokus pada akademik, kurangnya penekanan pada pendidikan agama, dan pergeseran nilai-nilai sederhana dan mandiri di kalangan santri. Sementara itu, tantangan yang dihadapi meliputi melindungi santri dari pengaruh negatif teknologi, mencegah penetrasi nilai-nilai non-Islam, serta beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era revolusi industri 4.0. Pondok pesantren modern juga harus meningkatkan mutu pendidikan untuk bersaing dengan sekolah-sekolah lain dan berkompetisi di tingkat global.
Pesantren memainkan peran krusial dalam penyaluran ilmu agama Islam, yang merupakan kontribusi nyata dalam melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya intelektual muslim yang lahir dari lingkungan pesantren. Peran ini diharapkan dapat membentuk generasi muda Islam yang adaptif terhadap perubahan zaman, mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dan cakap dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, perbaikan, pengembangan, dan pembaharuan pendidikan di pesantren menjadi prioritas utama untuk mencapai tujuan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi para santri dalam memperoleh pengetahuan dasar yang kokoh, sehingga dapat menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam dan maju di masa mendatang (Abdullah,2008)[2].
Wallahu a’lam
(Catatan diskusi mingguan Rayon PMII Yusuf Hasyim)
Penulis: Naufal Afif (Ketua Rayon PMII Yusuf Hasyim “Tebuireng”)
[1] Wirosukarto,Amir Hamzah,dkk.(1996). KH.Imam Zarkasyi dari gontor merintis pesantren modern,Ponorogo: Gontor Press.
[2] Abdullah, Irwan dan Muhammad Zain & Hasse J (Eds).(2008). Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.