“Selama hidupku, aku pengikut Nahdlatul Ulama. Jika aku meninggal maka wasiatku kepada masyarakat supaya mereka tetap menjadi pengikut Nahdlatul Ulama.”
Seuntaian pesan dari seorang tokoh Rais `Amm PBNU tahun 1972-1980 sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Bisri Syansuri.
Sebuah ironi, jikalau ada seorang kader PMII tak mengenal siapa saja pendiri Nahdlatul Ulama itu sendiri. Dimana kita ketahui bersama, PMII lahir dan besar dari rahim Nahdlatul Ulama.
Melalui momentum ziarah mu’assis NU, kader PMII komisariat Hasyim Asy’ari ber-ikhtiar untuk selalu mengingat dan menumbuhkan kembali semangat perjuangan para pendahulu.
Hari Jumat dan malam Jumat dianggap sebagai waktu istimewa untuk berziarah, karena Jumat disebut sebagai hari paling baik. Dalam tradisi Jawa, kombinasi Jumat dengan hari tertentu seperti Legi memiliki nilai keramat khusus, sehingga banyak peziarah mengunjungi makam pada waktu tersebut, beberapa orang bahkan menghabiskan malam di makam atau melakukan perjalanan ziarah ke beberapa makam yang berdekatan (Anam, n.d.)
Ziarah merupakan bentuk masdar dari kata bahasa Arab zāra (زار), yang secara etimologi berarti “mengunjungi” atau “melawat”. Menurut Luwis Ma’lūf, istilah ini diartikan sebagai “datang dengan maksud menemuinya”. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikannya sebagai kunjungan ke tempat yang dianggap suci atau mulia, seperti makam. Kata kubur atau makam berasal dari bahasa Arab qabr (قبر), yang merujuk pada liang tanah tempat jenazah dikuburkan atau lubang pemakaman. Ziarah kubur dalam terminologi syariah adalah mengunjungi pemakaman dengan tujuan mendoakan penghuni kubur dan mengambil pelajaran dari keadaan mereka, sebagai sarana untuk mengingat kematian dan memohon rahmat Tuhan. Kegiatan ini memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar mengunjungi tempat pemakaman (Mujib, n.d.)
Tradisi ziarah wali merupakan kegiatan religius yang populer di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, yang melibatkan kunjungan ke makam tokoh agama atau wali yang dianggap memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Tradisi ini telah berkembang signifikan dari waktu ke waktu, menjadi lebih inklusif dan dianggap memiliki nilai penting baik secara spiritual maupun ekonomi, termasuk sebagai faktor pendorong pariwisata. Pada hakikatnya, Ziarah kubur bagi peziarah bertujuan untuk mengingat kematian dan hari akhirat, serta sebagai sarana penyadaran diri. Selain itu, peziarah juga mendoakan agar si mayit mendapatkan ampunan dosa dari Allah dan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Dalam praktik ziarah, terdapat perbedaan pandangan di kalangan masyarakat Muslim terkait tujuan dan hukumnya. Beberapa menganggap ziarah sebagai sarana meminta hal-hal duniawi yang dapat mengarah pada kemusyrikan, sehingga menganggapnya sebagai perbuatan yang dilarang. Namun, sebagian lain memandang ziarah sebagai perbuatan baik jika bertujuan mendoakan orang sholeh dan mengarahkan keinginan kepada Allah, sehingga ziarah tetap diperbolehkan dalam Islam (Sylviana, 2018)
Antara Ziarah dan Ngalap Berkah
Dalam tradisi Islam-Jawa, para wali dipercaya memiliki keramat atau berkah yang dapat memberi manfaat bagi orang yang masih hidup. (Sylviana, 2018).
Peziarah memiliki dua kategori motivasi utama: motif intrinsik yang muncul dari dalam diri sendiri, terbentuk dari doktrin agama dan kebutuhan spiritual manusia. Motivasi ini mendorong mereka melakukan ziarah sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ketenangan rohani. Motivasi berperan dalam menentukan dan mengarahkan tindakan serta sikap manusia dalam beragama.
Tujuan utama banyak peziarah adalah mencari berkah. Istilah berkah (juga disebut berkat) berasal dari bahasa Arab barakah, yang dalam arti asli berarti “nikmat” atau “pertambahan kebaikan”. Dalam konteks bahasa Indonesia baku, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkah didefinisikan sebagai “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Pemahaman tentang berkah bervariasi tergantung konteks sosial budaya, seperti kesuksesan duniawi (panen melimpah, kesuksesan bisnis, atau studi) dan kualitas spiritual (keridhaan Allah, pahala). Keduanya saling terkait, di mana kedekatan dengan Allah dapat membawa kemudahan dalam urusan duniawi. Beberapa benda dianggap memiliki berkah dan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dengan tetap memohon kepada Allah (Ismail, 2016)
Sedangkan, menurut Henri Chambert‑Loir dan Claude Guillot, makam para wali dalam tradisi Islam sering dianggap oleh peziarah sebagai zona kebebasan spiritual yang berbeda dari masjid yang cenderung steril. Di makam, para peziarah merasa dapat melepas segala beban batin dan mengungkapkan kerinduan atau harapan terdalam mereka, seolah berdampingan dengan sosok suci yang dicintai Allah. Makam wali juga menjadi ruang pelarian, tempat untuk merenung, beristirahat, menikmati kedamaian, dan meredakan tekanan hidup, sambil mempertemukan berbagai lapisan masyarakat dalam suasana persaudaraan dan tanpa sekat sosial (Anam, n.d.).
Bentuk Pengabdian Seorang Kader
Selain mencari keberkahan dari makam yang dikunjungi, ziarah juga berfungsi sebagai pengingat akan tokoh dari makam tersebut. Melalui ziarah, peziarah tidak hanya mencari berkah, tetapi juga termotivasi untuk meneladani kebaikan para wali, membentuk karakter sosial dan spiritual yang positif, serta menebar kebaikan di masyarakat. Tempat pemakaman wali dianggap sebagai lokasi yang mustajab untuk berdoa, sehingga meningkatkan kesadaran spiritual dan motivasi untuk berbuat baik (Aziz, 2018).
Melalui ziarah, seseorang diharapkan dapat memperoleh keteguhan hati untuk selalu berada dalam kebaikan dan mengikuti ajaran yang diteladankan oleh tokoh yang diziarahi (Sylviana, 2018). Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai rasa hormat, kesopanan, dan bakti, seperti tercermin dalam budaya unggah-ungguh dan konsep Bahasa Jawa yang mengenal undha usuk. Dalam konteks ziarah, rasa hormat diwujudkan sebagai penghormatan kepada beliau sebagai wali yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah dan sebagai sesepuh atau orang tua, yang tercermin dalam ritual seperti dhodhok, menunduk, dan pantangan tertentu (Ismail, 2016).
Sebagai seorang kader PMII, menziarahi makam para pendiri NU dapat diartikan menjadi sebuah bentuk pengabdian. Karena tidak akan ada PMII tanpa adanya NU yang lebih dahulu berdiri.
NU lahir dari pemikiran-pemikiran para kyai yang ikhlas dalam berkorban untuk negeri, meneruskan perjuangan para kyai adalah kewajiban yang harus ada dan selalu ditanamkan di lubuk hati terdalam dari setiap kader PMII.
Semoga kita semua dapat meniru dan meneruskan perjuangan mereka dimasa depan kelak. Wallahu a’lam.
Penulis: Naufal Afif (ketua Rayon PMII Yusuf Hasyim “Tebuireng”)
Referensi
Anam, A. K. (n.d.). Pilgrimage Tradition: Between The Spiritual, Da’wah and Tourism.
Aziz, Abd. (2018). ZIARAH KUBUR, NILAI DIDAKTIS DAN REKONSTRUKSI TEORI PENDIDIKAN HUMANISTIK. Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 13(1), 33–61. https://doi.org/10.21274/epis.2018.13.1.33-61
Ismail, A. (2016). ZIARAH KE MAKAM WALI: Fenomena Tradisional di Zaman Modern. Al-Qalam, 19(2), 149. https://doi.org/10.31969/alq.v19i2.156
Mujib, M. M. (n.d.). TRADISI ZIARAH DALAM MASYARAKAT JAWA: KONTESTASI KESALEHAN, IDENTITAS KEAGAMAAN DAN KOMERSIAL.
Sylviana, Z. (2018). Ziarah: Antara Fenomena Mistik dan Komunikasi Spritual. Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam, 10(1), 118. https://doi.org/10.30739/darussalam.v10i1.273