Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report pada tahun 2016, kualitas guru di Indonesia menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang yang ada di dunia. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya rasa kehausan guru akan ilmu sehingga marasa cukup dengan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan, hal itu senada dengan apa yang disampaikan Yunus (2017) Banyak guru yang tidak mau mengembangkan diri untuk menambah pengetahuan dan pengetahuan dan kompetensi dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak mau membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa sudah cukup hanya mengajar, padahal Nabi Muhammad sudah menjelaskan “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat,” artinya tidak ada batas waktu untuk belajar.
Kualitas guru memang sudah terdegradasi semenjak di bangku perkuliahan, khusunya di fakultas ilmu pendidikan, para sarjana/calon guru ketika di bangku perkuliahan hanya berfokus pada masalah-masalah teknis, seperti pembuatan RPP, silabus, media pembelajaran, metode pembelajaran, pada akhirnya hal-hal yang dipelajari ketika berkuliah hanya sebatas praktik laporan adminitrasi guru, dan mencetak calon-calon guru yang terjebak dalam laporan-laporan administrasi untuk meningkatkan akreditasi sekolah belaka, dan terfokus pada jenjang karir guru.
Terbuang habis tenaga fikiran untuk hal demikian, sedang berapa ratus murid atau bahkan ribuan yang terdaftar dalam instansi tersebut jelasnya terjebak pula dalam lamunan masa depan menggunakan kacamata pragmatis (hal-hal yang berbau material), seperti di banyak kasus pada saat murid ditanya apa cita-citamu oleh guru, mayoritas pasti akan menjawab, polisi, tentara, dokter, youtuber, gammers. Memamang hal itu tidak salah namun coba kita renungkan Kembali, pada saat anak tersebut sudah beranjak dewasa/lulus dari sekolah dan dia tidak berkesempatan untuuk melanjutkan studynya namun bekerja sebagai petani, lalu dia menyimpulkan bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang hina sebab terdistraksi oleh cita-cita yang hanya sebatas profesi-profesi terhormat seperti yang dijelaskan diatas. Kalau logika seperti itu tidak dipangkas sejak dini, Bagaiaman kabar penerus estapet petani, nelayan yang menjadi budaya leluhur kita?
Berdasarkan pasal 1 (ayat 1) UU No 14 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam kasus lain Driyarkara (1980), menjelaskan fungsi guru adalah membantu anak didik berkembang menjadi manusia sejati (Merdeka). Ini berarti, bagi guru pertama-tama yang dipikirkan, yang diusahakan dalam tugasnya adalah bagaimana agar siswa mereka berkembang dan berhasil. Dalam situasi apapun, guru tak lagi memikirkan dirinya sendiri, tetapi yang paling penting adalah kemajuan anak didik. Berbanding terbalik dengan relitas sekarang guru hanya sebatas simbol pahlawan tanpa tanda jasa tanpa memaknai lebih dalam apa arti dari pahlawan.
Hal pokok yang menjadi Penawar atas hal itu semua adalah meperbaiki kualitas guru dengan cara, pengakderan guru sejak dini, menanmkan nilai-nilai religiousita, menamkan nilai-nilai kebangsaan dan yang terpenting Zelfbestuur (guru yang Merdeka dari kepentingan syahwat pribadi) Seperti yang dilalukan oleh Guru bangsa Hos Tkokroaminoto dalam mengkader Soekarno yang menjadi prokalamator sekaligus presiden pertama Indonesia, pengkaderan Soekarno melaui jalur cultural, artinya penanaman nilai kebangsaan dan nilai religius, hos tjokro menjadi orang tua kedua bagi Soekarno, kedekatan batiniahnya sangat kuat sehingga menciptakan koneksitas antara guru dan murid, pak tjokro sangat memahmi betul karakteriktik dari Soekarno muda, dan dengan mudahnya pak tjokro maracik Soekarno menjadi tokoh penggerak yang membawa indonesia Merdeka dari penjajahan selama 3,5 abad lamanya.
Penulis: Mohammad Nasaruddin